Risalah Hukum Bernyanyi Dengan Menggunakan Al Qur’an (Risalah Fi Hukmil Ghina Bil Qur’an) – 3

PASAL KEDUA

Sya’ir Atau Natsr (Prosa/Ungkapan Yang Bukan Sya’ir) Memuat Sesuatu Dari Al Qur’an Serta Hukum Hal Itu

BAHASAN PERTAMA

Bentuk-Bentuk Pencantuman Al Qur’an Di Dalam Ungkapan Lain[5]

Ketahuilah bahwa pencantuman Al Qur’an Al Karim di dalam sya’ir atau yang lainnya adalah ada dua bentuk:

Bentuk Pertama: Istisyhad (Dalam Rangka Berdalil), yaitu menyebutkan ayat Al Qur’an seadaanya tanpa perubahan, dan istisyhad (pengambilan dalil) ini ada dua keadaan:

– Keadaan Pertama: Si pembicara mengingatkan bahwa itu adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala, dan itu adalah di dalam natsr (ungkapan biasa bukan sya’ir) seperti ucapan para ahli fiqh dan yang lainnya saat berdalil dengan ayat (berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala, terus dia menuturkan ayatnya), dan di dalam sya’ir seperti ucapan Abdul Qahir Al Baghdadi:

يـا من عدا ثم اعتدى ثم اقترف ^^^ ثم انتهى ثم ارعوى ثم اعترف

أبشـر بقول الله في آياته ^^^ (إن ينتهوا يغفر لهم ما قد سلف)

Hai orang yang menyerang terus aniaya kemudian dia melakukan lagi

Terus menghentikan diri terus sadar kemudian mengakui

Berbahagialah dengan firman Allah di dalam ayat-ayat-Nya

(Bila mereka menghentikan diri, maka diampuni bagi mereka apa yang telah lalu)

– Keadaan Kedua: Si pembicara tidak mengingatkan bahwa itu adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala, namun konteks ucapan atau bukti-bukti menunjukan bahwa yang dimaksud itu adalah ayat, umpamanya dia menuturkan sejumlah ayat atau menyebutkan ayat yang tidak mengkin dikatakan oleh manusia, seperti:

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (Adz Dzariyat: 56)

Dan yang serupa itu.

Bentuk Kedua: Iqtibas.

Dan pembicaraan terhadap hal ini ada dalam beberapa bahasan.

– Bahasan Pertama: Definisinya.

Iqtibas itu dimaksudkan dengannya adalah si pembicara memuatkan sesuatu dari Al Qur’an di dalam ucapannya baik yang berbentuk sya’ir ataupun bukan sya’ir, dengan cara yang tidak mengandung pengisyaratan bahwa itu adalah dari Al Qur’an

– Bahasan Kedua: Macam-Macamnya.

Iqtibas ini dengan melihat ucapan yang digunakannya terbagi menjadi dua macam:

Macam Pertama: Iqtibas di dalam natsr (bukan sya’ir), seperti ucapan si khathib:

“Dialah yang Telah mengutus Rasu-lNya (dengan membawa) petunjuk (Al-Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkanNya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai.” (At Taubah: 33).

Dan yang serupa itu.

Macam Kedua: Iqtibas di dalam sya’ir:

Seperti ucapan Abul ‘Atahiyyah:

الحمد لله الواحد الصمد ^^^ هو الذي لم يولد ولم يلد

Segala puji bagi Allah Yang Maha Esa Lagi Tempat Bersandar

Dia-lah Yang Tidak Dilahirkan dan Tidak Melahirkan

Dan ia sesuai makna yang dituturkan adalah terbagi dua juga:

Pertama: Iqtibas yang tidak memindahkan ayat dari maknanya yang asal, seperti ucapan Abu Tammam:

قد كان ما خفت أن يكونا ^^^إنـا إلى الله راجعونا

Sungguh telah terjadi apa yang aku khawatirkan terjadi

Sesungguhnya kita adalah akan kembali kepada Allah

Kedua: Iqtibas yang di dalamnya ayat itu berpindah dari makna asalnya, seperti ucapan Ibnu Ar Rumi:

لئن أخطأت في مدحك ^^^ما أخطأت في منعي

لقد أنـزلت حاجاتي ^^^( بواد غير ذي زرع )

Sungguh andai saya telah keliru di dalam memujimu

Namun engkau tidak keliru dalam menghalangku

Sungguh engkau telah menempatkan hajatku

Di lembah yang tidak ada tanaman.

Di mana ucapannya (بواد غير ذي زرع) adalah iqtibas dari Al Quranul Karim, di mana ia datang di dalam Al Qur’anul Karim dengan makna (Mekkah Al Mukarramah), terus si penya’ir memindahkannya dari makna ini ke makna lain yang kiasan (majaziy) yaitu (suatu yang tidak ada manfaat dan kebaikan di dalamnya).

– Bahasan Ketiga: Hukum Iqtibas:

Para ulama berselisih pendapat tentang hukum iqtibas,[6] dan sebelum kami tuturkan perselisihan mereka, kami ingin menjelaskan uraian masalah di sini, sebagaimana berikut ini:

Pertama: Para ulama sepakat bahwa tidak boleh iqtibas di dalam acara bejat dan majelis-majelis orang-orang fasiq.

Kedua: Ulama sepakat bahwa iqtibas dari Al Qur’an itu menjadikan nash yang dicuplik itu memiliki kehormatan yang tidak dimiliki oleh ungkapan yang lainnya.

Dan mereka berselisih dalam selain hal ini menjadi beberapa pendapat:

Pendapat pertama: Sebagian ulama – sebagaimana yang diriwayatkan dari kalangan Malikiyyah – melarang iqtibas secara muthlaq baik di dalam natsr maupun di dalam sya’ir, serta mereka bersikap keras di dalamnya demi kehormatan Al Qur’an Al Karim.

Pendapat kedua: Sebagian ulama berpendapat boleh iqtibas di dalam natsr tidak di dalam sya’ir, karena Allah telah mensucikan Al Qur’an dari sya’ir. Di antara mereka adalah An Nawawiy, Al Baqilaniy dan yang lainnya.

Pendapat ketiga: Ada rincian, di mana iqtibas itu ada tiga macam:

* Diterima: Iqtibas di dalam khuthbah, ceramah dan perjanjian.

* Mubah: Iqtibas di dalam ucapan dan surat serta kisah.

* Tertolak: Dan ini ada dua macam:

Pertama: Apa yang Allah sandarkan kepada Diri-Nya dan si pembicara menyandarkannnya kepada dirinya.

Kedua: Memuatkan ayat di dalam ucapan yang mengandung makna permainan.

Dan pendapat ini dianggap bagus oleh Assayuthi.

Ibnu Muflih berkata di dalam Al Aadaab Asy Syar’iyyah 2/289: (Pasal) (Iqtibas dengan memuatkan sesuatu dari Al Qur’an di dalam nadham (Sya’ir) dan natsr (ngkapan biasa): Ibnu ‘Uqail ditanya tentang meletakkan kalimat-kalimat dan ayat-ayat dari Al Qur’an di akhir bagian ceramah?

Maka beliau berkata: Memuatkan Al Qur’an untuk tujuan-tujuan yang menyerupai tujuan-tujuan Al Qur’an adalah tidak apa-apa sebagai pengindah bagi ungkapan, sebagaimana dimuatkan di dalam surat-surat kepada kaum musyrikin ayat-ayat yang mengajak mereka kepada Islam, adapun memuatkannya ucapan-ucapan yang rusak maka ia itu tidak boleh seperti kitab-kitab ahli bid’ah. Dan mereka telah mengatakan:

ويخزهم وينصركم عليهم ^^^ويشف صدور قوم مؤمنينا

Dia mengancurkan mereka dan menolong kalian terhadap mereka

Serta melegakkan dada kaum mukminin.

Dan hal itu tidak diingkari terhadap si penya’ir tatkala dia bermaksud memuji syari’at dan mengagungkan penganutnya. Dan memuatkan Al Qur’an di dalam sya’ir itu adalah boleh karena baiknya tujuan dan tepatnya penempatan).

Dan yang shahih berkaitan dengan natsr di dalam ceramah, khuthbah dan yang serupa itu adalah boleh karena hal itu pernah dicontohkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, seperti apa yang ada di dalam hadits shahih secara marfu’ – di dalam penaklukan Khaibar – :

(الله أكبر ، خربت خيبر ، إنا إذا نزلنا بساحة قوم فساء صباح المنذرين)

“Allahu Akbar, Hancurlah Khaibar. Sesungguhnya kami bila turun dihalaman mereka, Maka amat buruklah pagi hari yang dialami oleh orang-orang yang diperingatkan itu.”

Dan seperti sabdanya shallallaahu ‘alaihi wasallam:

(إذا أتاكم من ترضون دينه وخلقه فزوجوه إلا تفعلوه تكن فتنة في الأرض وفساد كبير)

“Bila datang kepada kalian laki-laki yang kalian ridlai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.”

Serta nash-nash lainnya yang banyak.

BAHASAN KEDUA

Hukum Menyanyikan Sesuatu Yang Memuat Sesuatu Dari Al Qur’an

Hukum menyanyikan ungkapan yang memuat sebagian ayat Al Qur’an di dalam bentuk-bentuk yang lalu:

Adapun Bentuk Yang Pertama:

Yaitu Istisyhad (dalam rangka berdalil), dengan makna orang menyebutkan satu ayat Al Qur’an atau lebih atas dasar bahwa ia adalah bagian dari Al Qur’an, baik dia menegaskan terhadap hal itu ataupun hal ini diketahui lewat bukti-bukti yang mengelilinginya, maka hukum menyanyikannya adalah sama persis dengan hukum menyanyikan Al Qur’an sebagaimana yang telah kami jelaskan di pasal pertama, karena yang disebutkan adalah sebagian dari Al Qur’an, sedangkan bagian dari Al Qur’an adalah memiliki kehormatan Al Qur’an berdasarkan ijma, oleh sebab itu seandainya seseorang kafir terhadap satu ayat saja atau meragukannya, tentulah dia murtad dari Islam berdasarkan ijma – sebagaimana yang telah dijelaskan para ulama dan para fuqaha di dalam kitab-kitab mereka -, maka begitu juga di dalam masalah kita ini.

Dan Adapun Bentuk Yang Kedua:

Telah jelas dari perselisihan para ulama di dalamnya, bahwa orang yang membolehkannya telah mensyaratkan di dalamnya bahwa itu tidak di lakukan di dalam majelis kebejatan dan permainan, dan itu tidak lain adalah dikarenakan telah disepakatinya kehormatan apa yang dicuplik dari Al Qur’an termasuk seandainya ia keluar dari keberadaannya sebagai bagian dari Al Qur’an, sehingga barangsiapa menyanyikan suatu ucapan yang dicuplik dari Al Qur’an, maka dia telah melakukan perbuatan haram yang pengharamannya berlapis dari dua sisi:

– Sisi Pertama: Keharaman nyanyian pada dasarnya yang diijmakan oleh para ulama.

– Sisi Kedua: Keharaman menyanyikan suatu yang mengandung sebagian ayat Al Qur’an – walaupun dia memaksudkan selain Al Qur’an dengannya -.

Ini adalah yang bisa saya uaraikan di sini, wallahu ta’alaa a’lam.

Semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarganya dan para sahabatnya.

Untuk mendapatkan risalah-risalah lain, maka silahkan mengunjungi situs Nashir Ibnu Hamd Al Fahd (http://www.al-fahd.com/)

.

————————————————————————–

[5] Lihat rincian masalah ini di dalam Risalah milik Assuyuthi dengan judul Raf’u Ilbas Wa Kasyfil Iltibas Fi Dlarbil Matsal Minal Qur’an Wal Iqtibas di dalam Al Hawi Lil Fatawa 1/344-377, Syarh Az Zarqaniy 3/65, Tanwirul Hawalik 2/24, Manahilul ‘Urfan 1/296, Abjadul ‘Ulum 2/491, Shubhul A’syaa 1/234 dan Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah 6/17.

[6] Lihat referensi-referensi yang telah saya sebutkan di awal pasal ini.

.

(KabarDuniaIslam/millahibrahim.wordpress.com)

Tinggalkan komentar